BAB
I
PENDAHULUAN
Jamur yang bisa menyebabkan penyakit
pada manusia antara lain adalah dermatofita (dermatophyte, bahasa yunani, yang
berarti tumbuhan kulit) dan jamur serupa ragi candida albican, yang menyebabkan
terjadinya infeksi jamur superficial pada kulit, rambut, kuku, dan selaput
lendir. Jamur lainnya dapat menembus jaringan hidup dan menyebabkan infeksi
dibagian dalam. Jamur yang berhasil masuk bisa tetap berada di tempat
(misetoma) atau menyebabkan penyakit sistemik (misalnya, histoplasmosis).1
Insidensi mikosis superfisial sangat
tinggi di Indonesia karena menyerang masyarakat luas, oleh karena itu akan
dibicarakan secara luas. Sebaliknya mikosis profunda jarang terdapat. Yang
termasuk ke dalam mikosis superfisial terbagi 2: kelompok dermatofitosis dan
non-dermatofitosis. Istilah dermatofitosis harus dibedakan di sini dengan
dermatomikosis. Dermatofitosis ialah penyakit pada jaringan yang mengandung zat
tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku yang
disebabkan golongan jamur dermatofita. Penyebabnya adalah dermatofita yang mana
golongan jamur ini mempunyai sifat mencerna keratin. Dermatofita termasuk kelas
fungi imperfecti yang terbagi dalam genus, yaitu microsporum, trichophyton, dan
epidermophyton. Selain sifat keratolitik masih banyak sifat yang sama di antara
dermatofita, misalnya sifat faali, taksonomis, antigenik, kebutuhan zat makanan
untuk pertumbuhannya, dan penyebab penyakit.
Hingga kini dikenal sekitar 40
spesies dermatofita, masing-masing 2 spesies epidermophyton, 17 species
microsporum, dan 21 species trichophyton. Pada tahun-tahun terakhir ditemukan
bentuk sempurna (perfect stage), yang terbentuk oleh dua koloni yang berlainan
“jenis kelaminnya”. Adanya bentuk sempurna ini menyebabkan dermatofita dapat
masuk kedalam family gymnoascaceae. Dikenal genus Nannizzia dan arthroderma
yang masing-masing dihubungkan dengan genus microsporum dan tricophyton. 2
Penyakit infeksi jamur di kulit
mempunyai prevalensi tinggi di Indonesia, oleh karena negara kita beriklim
tropis dan kelembabannya tinggi. Dermatofitosis adalah infeksi jamur
superfisial yang disebabkan genus dermatofita, yang dapat mengenai kulit,
rambut dan kuku. Manifestasi klinis bervariasi dapat menyerupai penyakit kulit
lain sehingga selalu menimbulkan diagnosis yang keliru dan kegagalan dalam
penatalaksanaannya. Diagnosis dapat ditegakkan secara klinis dan identifikasi
laboratorik. Pengobatan dapat dilakukan secara topikal dan sistemik. Pada masa
kini banyak pilihan obat untuk mengatasi dermatofitosis, baik dari golongan
antifungal konvensional atau antifungal terbaru. Pengobatan yang efektif ada
kaitannya dengan daya tahan seseorang, faktor lingkungan dan agen penyebab.
Prevalensi di Indonesia, dermatosis akibat kerja belum mendapat perhatian
khusus dari pemerintah atau pemimpin perusahaan walaupun jenis dan tingkat
prevalensinya cukup tinggi.
Beberapa penelitian yang pernah
dilakukan di Indonesia antara lain: 30% dan pekerja penebang kayu di Palembang
dan 11,8% dan pekerja perusahaan kayu lapis menderita dermatitis kontak utama
Wijaya (1972) menemukan 23,75% dan pekerja pengelolaan minyak di Sumatera
Selatan menderita dermatitis akibat kerja, sementara Raharjo (1982) hanya
menemukan 1,82%. Sumamur (1986) memperkirakan bahwa 50-60% dari seluruh
penyakit akibat kerja adalah dermatofitosis akibat kerja. Dari data sekunder
ini terlihat bahwa dermatofitosis akibat kerja memang mempunyai prevalensi yang
cukup tinggi, walaupun jenis dermatofitosisnya tidak sama. Dan angka insidensi
dermatofitosis pada tahun 1998 yang tercatat melalui Rumah Sakit Pendidikan
Kedokteran di Indonesia sangat bervariasi, dimulai dari persentase terendah
sebesar 4,8 % (Surabaya) hingga persentase tertinggi sebesar 82,6 % (Surakarta)
dari seluruh kasus dermatomikosis.3
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
DERMATOFITOSIS adalah setiap infeksi fungal superfisial yang disebabkan oleh
dermatofit dan mengenai stratum korneum kulit, rambut dan kuku, termasuk
onikomikosis dan berbagai macam bentuk tinea. Disebut juga epidermomycosis dan
epidermophytosis. 4
Jamur dermatofit dinamai sesuai
dengan genusnya (mycrosporum, trichophyton, dan epidermophyton) dan spesiesnya
misalnya, microsporum canis, t. rubrum). Beberapanya hanya menyerang manusia
(antropofilik), dan yang lainya terutama menyerang hewan (zoofilik), walau
kadang bisa menyerang manusia. Apabila jamur hewan menimbulkan lesi dikulit
pada manusia, keberadaaan jamur tersebut sering menyebabkan suatu reaksi
inflamasi yang hebat (misalnya, cattle ringworm).1
2.2 Etiologi
Berdasarkan sifat makro dan mikro,
dermatofita dibagi menjadi: microsporum, tricopyton, dan epidermophyton. Yang
paling terbanyak ditemukan di Indonesia adalah T.rubrum. dermatofita lain
adalah: E.floccosum, T.mentagrophytes, M. canis, M. gypseum, T.cocentricum,
T.schoeleini dan T. tonsurans.5
2.2.1 Microsporum
Kelompok dermatofita yang bersifat
keratofilik, hidup pada tubuh manusia (antropofilik) atau pada hewan
(zoofilik). Merupakan bentuk aseksual dari jamur. Terdiri dari 17 spesies, dan
yang terbanyak adalah: 6
SPECIES
|
CLASSIFICATION (NATURAL RESERVOIR)
|
Microsporum
audouinii
|
Anthropophilic
|
Microsporum
canis
|
Zoophilic (Cats and dogs)
|
Microsporum
cooeki
|
Geophilic (also isolated from furs
of cats, dogs, and rodents)
|
Microsporum
ferrugineum
|
Anthropophilic
|
Microsporum
gallinae
|
Zoophilic (fowl)
|
Microsporum
gypseum
|
Geophilic (also isolated from fur
of rodents)
|
Microsporum
nanum
|
Geophilic and zoophilic (swine)
|
Microsporum
persicolor
|
Zoophilic (vole and field mouse)
|
Tabel
2.1 Spesies Microsporum.
Koloni mikrosporum adalah glabrous,
serbuk halus, seperti wool atau powder. Pertumbuhan pada agar Sabouraud
dextrose pada 25°C mungkin melambat atau sedikit cepat dan diameter dari koloni
bervariasi 1- 9 cm setelah 7 hari pengeraman. Warna dari koloni bervariasi
tergantung pada jenis itu. Mungkin saja putih seperti wol halus yang masih
putih atau menguning sampai cinamon.6
2.2.2 Epidermophyton
Jenis Epidermophyton terdiri dari
dua jenis; Epidermophyton floccosum dan Epidermophyton stockdaleae. E.
stockdaleae dikenal sebagai non-patogenik, sedangkan E. floccosum satu-satunya
jenis yang menyebabkan infeksi pada manusia. E. floccosum adalah satu penyebab
tersering dermatofitosis pada individu tidak sehat. Menginfeksi kulit (tinea
corporis, tinea cruris, tinea pedis) dan kuku (onychomycosis). Infeksi terbatas
kepada lapisan korneum kulit luar.koloni E. floccosum tumbuh cepat dan
matur dalam 10 hari. Diikuti inkubasi pada suhu 25 ° C pada agar
potato-dextrose, koloni kuning kecoklat-coklatan
2.2.3 Tricophyton
Trichophyton adalah suatu
dermatofita yang hidup di tanah, binatang atau manusia. Berdasarkan tempat
tinggal terdiri atas anthropophilic, zoophilic, dan geophilic. Trichophyton
concentricum adalah endemic pulau Pacifik, Bagian tenggara Asia, dan Amerika
Pusat. Trichophyton adalah satu penyebab infeksi pada rambut, kulit, dan kuku
pada manusia.8
NATURAL
HABITATS OF TRICHOPHYTON SPECIES
|
|
Species
|
Natural
Reservoir
|
Ajelloi
|
Geophilic
|
Concentricum
|
Anthropophilic
|
Equinum
|
zoophilic (horse)
|
Erinacei
|
zoophilic (hedgehog)
|
Flavescens
|
geophilic (feathers)
|
Gloriae
|
Geophilic
|
Interdigitale
|
Anthropophilic
|
Megnini
|
Anthropophilic
|
Mentagrophytes
|
zoophilic (rodents, rabbit) /
anthropophilic
|
Phaseoliforme
|
Geophilic
|
Rubrum
|
Anthropophilic
|
Schoenleinii
|
Anthropophilic
|
Simii
|
zoophilic (monkey, fowl)
|
Soudanense
|
Anthropophilic
|
Terrestre
|
Geophilic
|
Tonsurans
|
Anthropophilic
|
Vanbreuseghemii
|
Geophilic
|
Verrucosum
|
zoophilic (cattle, horse)
|
Violaceum
|
Anthropophilic
|
Yaoundei
|
anthropophilic
|
Tabel
2.2 Spesies Trichophyton.
2.3 Insidensi
Indonesia termasuk wilayah yang baik
untuk pertumbuhan jamur, sehingga dapat ditemukan hampir di semua tempat.
Menurut Adiguna MS, insidensi penyakit jamur yang terjadi di berbagai rumah
sakit pendidikan di Indonesia bervariasi antara 2,93%-27,6%. Meskipun angka ini
tidak menggambarkan populasi umum.
Dermatomikosis atau mikosis
superfisialis cukup banyak diderita penduduk negara tropis. Di Indonesia angka
yang tepat, berapa sesungguhnya insiden dermatomikosis belum ada. Di Denpasar,
golongan penyakit ini menempati urutan kedua setelah dermatitis. Angka insiden
tersebut diperkirakan kurang lebih sama dengan di kota-kota besar Indonesia
lainnya. Di daerah pedalaman angka ini mungkin akan meningkat dengan variasi
penyakit yang berbeda.
Sebuah penelitian retrospektif yang
dilakukan pada penderita dermatomikosis yang dirawat di IRNA Penyakit Kulit Dan
Kelamin RSU Dr. Soetomo Surabaya dalam kurun waktu antara 2 Januari 1998 sampai
dengan 31 Desember 2002. Dari pengamatan selama 5 tahun didapatkan 19 penderita
dermatomikosis. Kasus terbanyak terjadi pada usia antara 15-24 tahun (26,3%),
penderita wanita hampir sebanding dengan laki-laki(10:9). Dermatomikosis
terbanyak ialah Tinea Kapitis, Aktinomisetoma, Tinea Kruris et Korporis,
Kandidiasis Oral, dan Kandidiasis Vulvovaginalis.
Jenis organisme penyebab
dermatomikosis yang berhasil dibiakkan pada beberapa rumah sakit tersebut
yakni: T.rubrum, T.mentagrophytes, M.canis, M.gypseum, M.tonsurans,
E.floccosum, Candida albicans, C.parapsilosis, C.guilliermondii, Penicillium,
dan Scopulariopsis. Menurut Rippon tahun 1974 ada 37 spesies dermatofita yang
menyebabkan penyakit di dunia.9
Di luar seperti India, berdasarkan
penelitian di India yang mengambil sampel sebanyak 121 kasus (98 pria & 23
perempuan), dermatomikosis menempati urutan pertama untuk kasus penyakit kulit,
103 kasus (70,5%), diikuti candidiasis 30 kasus (20,5%) dan pitiriasis
versikolor. Di Amerika endemik dermatomikosis di daerah Utara dan barat
Venezuela, brasil, dan beberapa kasus di laporkan di Columbia dan argentina. Di
Eropa infeksi tinea adalah hal yang umum. Perkiraan insidensi penyakit ini
sekitar 10-20%. Di Eropa dermatomikosis merupakan penyakit kulit yang menempati
urutan kedua. Penyakit ini disebabkan oleh tinea pedis, tinea corporis, tinea
cruris, dan tinea rubrum. Tinea rubrum ditemukan pada 76,2% kasus
dermatomikosis melalui pemeriksaan sampel di Eropa.
Onset usia terjadi pada anak kecil
yang baru belajar berjalan (toddlers) dan anak usia sekolah. Paling sering
menyerang anak berusia 6-10 tahun dan juga pada usia dewasa.9
Frekuensi infeksi pada spesies
tertentu antara lain:
• Sekitar 58% dermatofita yang
terisolasi adalah trichophyton rubrum
• 27% Trichophyton mentagrophytes
• 7% Trichophyton verrucosum
• 3% Trichophyton tonsurans
• Kecil dari 1 % yang terisolasi:
Epidermophyton floccosum, Microsporum audouinii, Microsporum canis, Microsporum
equinum, Microsporum nanum, Microsporum versicolor, Trichophyton equinum,
Trichophyton kanei, Trichophyton raubitschekii, and Trichophyton violaceum.10
2.4 Klasifikasi
Klasifikasi yang paling sering
dipakai oleh para spesialis kulit adalah berdasarkan lokasi:
a. Tinea kapitis, tinea pada kulit
dan rambut kepala
b. Tinea barbe, dermatofitosis pada
dagu dan jengggot.
c. Tinea kruris, dermatofita pada
daerah genitokrural, sekitar anus, bokong, dan kadang-kadang sampai perut
bagian bawah.
d. Tinea pedis et manum,
dermatofitosis pada kaki dan tangan.
e. Tinea unguium, tinea pada kuku
kaki dan tangan.
f. Tinea facialis, tinea yang
meliputi bagian wajah
g. Tinea korporis, dermatofitosis
pada bagian lain yang tidak termasuk 5 bentuk tinea diatas.
Selain 6 bentuk tinea di atas masih
dikenal istilah yang mempunyai arti khusus, yaitu:
a. Tinea imbrikata: dermatofitosis
dengan susunan skuama yang kosentris dan disebabkan oleh tricophyton concentricum.
b. Tinea favosa atau favus:
dermatofitosis yang terutama disebabkan oleh tricophyton schoenleini: secara
klinis antara lain berbentuk skutula dan berbau seperti tikus (mousy odor).
c. Tinea sirsinata, arkuata yang
merupakan penamaan deskriptif dari morfologinya.
d. Tinea incognito: dermatofitosis
dengan bentuk klinis tidak khas oleh karena telah diobati dengan steroid
topical kuat. 2
2.5 Gejala Klinis
2.5.1 Tinea Pedis
Infeksinya anthropophilic
dermatophytes biasanya disebabkan oleh adanya elemen hifa dari jamur yang mampu
menginfeksi kulit. Skala desquamasi kulit bisa terinfeksi di lingkungan selama
berbulan-bulan atau tahun. Oleh karena itu transmisi bisa terjadi dengan kontak
tidak langsung lama setelah infeksi terjadi.
Bahan seperti karpet yang kontak
dengan kulit vektor sempurna. Begitu, transmisi dermatophytes suka Trichophyton
rubrum, T. interdigitale dan Epidermophyton floccosum yang biasnya pada kaki.
infeksi di sini sering kronis dan tidak menimbulkan keluhan selama beberapa
tahun dan hanya ketika menyebar kebagian lain, biasanya di kulit.11
2.5.2 Tinea unguium (dermatophytic onycomicosis, ringworm of the nail)
Trichophyton rubrum dan T.
interdigitale adalah spesies yang sering menyebabkan tinea unguium.
Dermatofita jenis unguium digolongkan
menjadi dua bagian utama: (1). Superficial white-onycomycosis yang menempel
atau membuat lubang pada permukaan kuku. (2). Invasif, subungual dermatofita
yang lateral dari proximal atau pun distal. Diikuti dengan menetapnya infeksi
pada dasar kuku. Onycomycosis subungual distal adalah bentuk umum dari
onycomycosis dermatofita. Jamur menyerang bagian distal bantalan jari yang
menyebabkan hiperkeratosis dari bantalan kuku dengan onycolisis dan menyebabkan
penebalan lempeng kuku.
Seperti namanya onycomycosis
subungual lateral dimulai dari bagian lateral kuku dan sering menyebar
melibatkan semua lempeng kuku. Pada onycomycosis subungual proximal jamur
menginvasi kebawah kutikula dan menginfeksi bagian proximal daripada bagian
distal karena spot yellow-white akan menyerang lunula terlebih dahulu kemudian
meluas ke lempeng kuku.11
2.5.3 Tinea kruris (eczema marginatum, dhobie itch, ringworm of the groin)
Tinea kruris adalah dermatofitosis
pada lipat paha, daerah perineum, dan sekitar anus. Kelainan ini dapat bersifat
akut ataupun menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang berlangsung seumur
hidup. Lesi kulit dapat berbatas pada daerah genito-krural saja, atau meluas ke
daerah sekitar anus, daerah gluteus, dan perut bagian bawah, atau bagian tubuh
yang lain.11
Kelainan kulit yang tampak pada sela
paha merupakan lesi berbatas tegas. Peradangan pada tepi lebih nyata daripada
daerah di tengahnya. Fluoresensi terdiri atas bermacam-macam bentuk yang primer
dan sekunder (polimorfik). Bila menahun dapat disertai bercak hitam dan
bersisik. Erosi dan keluarnya cairan terjadi akibat garukan. Dan tinea kruris
merupakan bentuk klinis tersering di Indonesia.2
Dermatofit T rubrum menjadi penyebab
yang paling umum untuk tinea cruris. T rubrum menjadi dermatofit yang lazim 90%
dari kasus tinea cruris, diikuti T tonsurans ( 6%) dan T mentagrophytes ( 4%).
Organisme lain, termasuk E floccosum dan T verrucosum, menyebabkan suatu
kondisi klinis yang serupa. Infeksi T rubrum dan E floccosum lebih cenderung
untuk menjadi kronis dan non-inflamatori, sedangkan infeksi oleh T
mentagrophytes sering dihubungkan dengan suatu presentasi klinis merah,
menyebabkan peradangan akut.12
Agen yang pada umumnya menyebabkan
tinea kruris antara lain: T. rubrum, T. interdigitale dan E. floccosum. 11
2.5.4 Tinea kapitis
Tinea kapitis adalah kelainan pada
kulit dan rambut kepala yang disebabkan oleh spesies dermatofita. Kelainan ini
dapat ditandai dengan lesi bersisik, kemerahan, alopesia dan kadang-kadang
terjadi gambaran klinis yang lebih berat, yang disebut kerion. Ada tiga bentuk
tinea kapitis:
1. Gray patch ring-worm, merupakan
tinea kapitis yang biasanya disebabkan oleh genus microsporum dan sering
ditemukan pada anak-anak. Penyakit mulai dengan papul merah yang kecil di
sekitar rambut. Papul ini melebar dan membentuk bercak, yang menjadi pucat dan
bersisik. Keluhan penderita adalah rasa gatal. Warna rambut menjadi abu-abu dan
tidak berkilat lagi. Rambut mudah patah dan terlepas dari akarnya sehingga
mudah dicabut dengan pinset tanpa rasa nyeri. Semua rambut di daerah tersebut
terserang oleh jamur dan menyebabkan alopesia setempat. Tempat-tempat terlihat
sebagai gray patch, yang pada klinik tidak menunjukan batas daerah sakit dengan
pasti. Pada pemeriksaan lampu wood terlihat fluoresensi hijau kekuningan pada
rambut yang sakit, melampaui batas dari gray patch tersebut. Tinea kapitis
disebabkan oleh microsporum audouini biasanya disertai tanda peradangan, hanya
sesekali berbentuk kerion.2
2. Kerion, merupakan tinea kapitis
yang terutama disebabkan oleh Microsporum canis (Mulyono, 1986). Bentuk yang
disertai dengan reaksi peradangan yang hebat. Lesi berupa pembengkakan
menyerupai sarang lebah, dengan sebukan radang di sekitarnya. Kelainan ini
menimbulkan jaringan parut yang menetap.13
3. Black dot ring-worm, merupakan
tinea kapitis yang terutama disebabkan oleh Trichophyton tonsurans dan
Trichophyton violaceum (Mulyono, 1986). Gambaran klinis berupa terbentuknya
titik-titik hitam pada kulit kepala akibat patahnya rambut yang terinfeksi
tepat di muara folikel. Ujung rambut yang patah dan penuh spora terlihat
sebagai titik hitam. Diagnosis banding pada tinea kapitis adalah alopesia
areata, dermatitis seboroik dan psoriasis (Siregar, 2005). 13
2.5.5 Tinea korporis (tinea sirsinata, tinea glabrosa, scherende flechte, kurap, herpes sircine trichophytique)
Merupakan dermatofitosis pada kulit
tubuh yang tidak berambut (glabrous skin).
1. Kelainan yang dilihat dalam
klinik merupakan lesi bulat atu lonjong, berbatas tegas terdiri dari eritema,
squama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul ditepi. Daerah tengah biasanya
tenang. Kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi-lesi pada umumnya
merupakan bercak-bercak terpisah satu dengan yang lain. Dapat terlihat sebagai
lesi dengan tepi polisiklik, karena beberapa lesi kulit menjadi satu.
2. Tinea korporis yang menahun tanda
radang yang mendadak biasanya tidak terlihat lagi. Kelainan ini dapat terjadi
pada tiap bagian tubuh dan bersama-sama dengan kelainan pada sela paha. Dalalm
hal ini disebut tinea korporis et kruris atau sebaliknya tinea kruris et
korporis. Bentuk menahun dari trichophyton rubrum biasanya dilihat bersama-sama
dengan tinea unguium.
3. Bentuk khas dari tinea korporis
yang disebabkan oleh trichophyton concentricum disebut tinea imbrikata. Tinea
imbrikata dimulai dengan bentuk papul berwarna coklat, yang perlahan menjadi
besar. Stratum korneum bagian tengah ini terlepas dari dasarnya dan melebar.
Proses ini setelah beberapa waktu mulai lagi dari bagian tengah, sehingga
terbentuk lingkaran-lingkaran berskuama yang kosentris.
4. Bentuk tinea korporis yang
disertai kelainan pada rambut adalah tinea favosa atau favus. Penyakit ini
biasanya dimulai dikepala sebagai titik kecil di bawah kulit yang berwarna
merah kuning dan berkembang menjadi krusta berbentuk cawan (skutula) dengan
berbagai ukuran. Krusta tersebut biasanya tembus oleh satu atau dua rambut dan
bila krusta diangkat terlihat dasar yang cekung merah dan membasah. Rambut
tidak berkilat lagi dan terlepas. Bila tidak diobati, penyakit ini meluas
keseluruh kepala dan meninggalkan parut dan botak. Berlainan dengan tinea
korporis yang disebabkan oleh jamur lain, favus tidak menyembuh pada usia akil
balik. Biasanya tercium bau tikus (mousy odor) pada para penderita favus. Tiga
spesies dermatofita yang menyebabkan favus, yaitu trichophyton schoenleini,
trichophyton violaceum, dan microsporum gypseum. Berat ringan bentuk klinis
yang tampak tidak bergantung pada spesies jamur penyebab, akan tetapi lebih
banyak dipengaruhi oleh tingkat kebersihan, umur, dan ketahanan penderita
penderita.2
2.6 Pemeriksaan Penunjang
Mikroskopik langsung
Sediaan basah dibuat dengan
meletakan bahan di atas gelas alas, kemudian ditambah 1-2 tetes larutan KOH.
Konsentrasi 10% untuk rambut dan untuk kulit, dan untuk kuku 20%. Setelah
sedian dicampur dengan KOH, tunggu 15-20 menit untuk melarutkan jaringan.untuk
mempercepat pelarutan dilakukan pemanasan sediaan basah di atas api kecil. Pada
saat mulai keluar uap, pemanasan dihentikan. Untuk melihat elemen jamur lebih
nyata dapat ditambahkan zat warna pada sedian KOH, misalnya tinta parker
superchroom blue black.2
Kerokan kulit, kuku, dan epitel
rambut diuji dengan KOH 10% dan sediaan tinta Parker atau calcofluor -white.11
Kultur
Spesimen akan diinokulasi ke dalam
media isolasi primer, seperti agar sabouraud’s dextrose yang terdiri dari
sikloheksimid (actidione) dan masa inkubasi 26-28o C selama 4 minggu.
Pertumbuhannya signifikan pada banyak dermatofita.11
2.7 Diagnosa
Umumnya dermatofitosis pada kulit
memberikan morfologi yang khas yaitu bercak-bercak yang berbatas tegas disertai
efloresensi-efloresensi yang lain, sehingga memberikan kelainan-kelainan yang
polimorfik, dengan bagian tepi yang aktif serta berbatas tegas sedang bagian
tengah tampak tenang. Gejala objektif ini selalu disertai dengan perasaan
gatal, bila kulit yang gatal ini digaruk maka papula-papula atau
vesikel-vesikel akan pecah sehingga menimbulkan daerah yang erosit dan bila
mengering jadi krusta dan skuama. Kadang-kadang bentuknya menyerupai dermatitis
(ekzema marginatum), tetapi kadang-kadang hanya berupa makula yang
berpigmentasi saja (Tinea korporis) dan bila ada infeksi sekunder menyerupai
gejala-gejala pioderma (impetigenisasi).3
Pemeriksaan mikologik untuk membantu
menegakan diagnosa terdiri atas pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan.
Pemeriksaan lain misalnya pemeriksaan histopatologik, percobaan binatang, dan
imunologik tidak diperlukan.2
2.8 Diagnosa Banding
Tinea pedis et manum harus dibedakan
dengan dermatitis, yang biasanya batasnya tidak jelas, bagian tepi lebih aktif
dari pada bagian tengah. Adanya vesikel-vesikel steril pada jari-jari kaki dan
tangan (pomfoliks) dapat merupakan reaksi id, yaitu akibat setempat hasil
reaksi antigen dengan zat anti pada tempat tersebut.
Efek samping obat juga dapat memberi
gambaran serupa yang menyerupai ekzem atau dermatitis, pertama-tama harus
dipikirkan adanya suatu dermatitis kontak. Pada hiperhidrosis terlihat kulit
yang mengelupas (maserasi). Kalau hanya terlihat vesikel-vesikel, biasanya
terletak sangat dalam dan terbatas pada telapak kaki dan tangan. Kelainan tidak
meluas sampai di sela-sela jari. 2
Penyakit lain yang harus mendapat
perhatian adalah kandidiosis, membedakannya dengan tinea pedis murni
kadang-kadang sangat sulit. Pemeriksaan sediaan langsung dengan KOH dan
pembiakan dapat menolong. Infeksi sekunder dengan spesies candida atau bakteri
lain sering menyertai tinea pedis, sehingga pada kasus-kasus demikian
diperlukan interpretasi bijaksana terhadap hasil-hasil pemeriksaan
laboraturium. Sifilis II dapat berupa kelainan kulit di telapak tangan dan
kaki. Lesi yang merah dan basah dapat merupakan petunjuk. Dalalm hal ini
tanda-tanda lain sifilis akan terdapat misalnya: kondiloma lata, pembesaran
kelenjar getah bening yang menyeluruh, anamnesa tentang afek primer dan
pemeriksaan serologi serta lapangan gelap dapat menolong.
Tinea unguium yang disebabkan oleh
bermacam-macam dermatofita memberikan gambaran akhir yang sama. Psoriasis yang
menyerang kuku pun dapat berakhir dengan kelainan yang sama. Lekukan-lekukan
pada kuku (nail pits), yang terlihat pada psoriasis tidak didapati pada tinea
unguium. Lesi-lesi psoriasis pada bagian lain badan dapat menolong
membedakannya dengan tinea unguium. Banyak penyakit kulit yang menyerang bagian
dorsal jari-jari tangan dan kaki dapat menyebabkan kelainan yang berakhir
dengan distrofi kuku, misalnya: Paronikia, yang etiologinya bermacam-macam
ekzem/dermatitis, akrodermatitis perstans.
Tidak begitu sukar menentukan tinea
korporis pada umumnya, namun ada beberapa penyakit kulit yang dapat mericuhkan
diagnosa itu, misalnya dermatitis seboroika, psoriasis, dan pitiriasis rosea.
Kelainan kulit pada dermatitis seboroika selain dapat menyerupai tinea
korporis, biasanya terlihat pada tempat-tempat predileksi, misalnya di kulit
kepala (scalp), lipatan-lipatan kulit , misalnya belakang telinga, daerah
nasolabial, dan sebagainya. Psoriasis dapat dikenal pada kelainan kulit pada
tempat predileksinya, yaitu daerah ekstensor misalnya lutut, siku dan punggung.
Kulit kepala berambut juga sering terkena pada penyakit ini. Adanya
lekukan-lekukan pada kuku dapat pula menolong menentukan diagnosa. Ptiriasis
rosea distribusi kelainan kulitnya simetris dan terbatas pada bagian tubuh dan
bagian proksimal anggota badan, sukar dibedakan dengan tinea korporis.
Pemeriksaan laboraturiumlah yang dapat memastikan diagnosanya. Tinea korporis
kadang sukar dibedakan dengan dermatitis seboroik pada sela paha. Lesi-lesi
ditempat predileksi sangat menolong dalm menentukan diagnosa. Psoriasis pada sela
paha dapat menyerupai tinea kruris. Lesi pada psoriasis lebih merah, skuama
lebih banyak dan lamelar. Adanya lesi psoriasis pada tempat lain dapat membantu
menentukan diagnosa.
Kandidosis pada daerah lipat paha
mempunyai konfigurasi hen and chicken. Kelainan ini biasanya basah dan
berkrusta. Pada wanita ada tidaknya flour abus dapat membantu pengarahan
diagnosa. Pada penderita diabetes mellitus, kandidosis merupakan penyakit yang
sering dijumpai.
Eritrasma merupakan penyakit yang
tersering berlokasi di sela paha. Efloresensi yang sama yaitu eritema dan
skuama, pada seluruh lesi merupakan tanda-tanda khas dari penyakit ini.
Pemeriksaan dengan lampu wood dapat menolong dengan adanya floresensi merah
(coral red).
Tinea barbe kadang sukar dibedakan
dengan sikosis barbe, yang disebabkan oleh piokokus. Pemeriksaan sediaan
langsung dapat membedakan kedua penyakit ini.2
2.9 Pengobatan
Pengobatan dermatofitosis sering
tergantung pada klinis. Sebagai contoh lesi tunggal pada kulit dapat diterapi
secara adekuat dengan antijamur topikal. walaupun pengobatan topikal pada kulit
kepala dan kuku sering tidak efektif dan biasanya membutuhkan terapi sistemik
untuk sembuh. Infeksi dermatofitosis yang kronik atau luas, tinea dengan
implamasi akut dan tipe "moccasin" atau tipe kering jenis t.rubrum
termasuk tapak kaki dan dorsum kaki biasanya juga membutuhkan terapi sistemik.
Idealnya, konfirmasi diagnosis mikologi hendaknya diperoleh sebelum terapi
sistemik antijamur dimulai. Pengobatan oral, yang dipilih untuk dermatofitosis
adalah:2,11
Infeksi
|
Rekomendasi
|
Alternatif
|
Tinea
unguium (Onychomycosis)
|
Terbinafine 250 mg/hr 6 minggu
untuk kuku jari tangan, 12 minggu untuk kuku jari kaki
|
Itraconazole 200 mg/hr /3-5 bulan
atau 400 mg/hr seminggu per bulan selama 3-4 bulan berturut-turut.
Fluconazole 150-300 mg/ mgg s.d sembuh (6-12 bln) Griseofulvin 500-1000 mg/hr s.d sembuh (12-18 bulan) |
Tinea
capitis
|
Griseofulvin 500mg/day
(≥ 10mg/kgBB/hari) sampai sembuh (6-8 minggu) |
Terbinafine 250 mg/hr/4 mgg
Itraconazole 100 mg/hr/4mgg Fluconazole 100 mg/hr/4 mgg |
Tinea
corporis
|
Griseofulvin 500 mg/hr sampai
sembuh (4-6 minggu), sering dikombinasikan dengan imidazol.
|
Terbinafine 250 mg/hr selama 2-4 minggu Itraconazole
100 mg/hr selama 15 hr atau 200mg/hr selama 1 mgg. Fluconazole 150-300 mg/mggu selama 4 mgg.
|
Tinea
cruris
|
Griseofulvin 500 mg/hr sampai
sembuh (4-6 minggu)
|
Terbinafine 250 mg/hr selama 2-4
mgg Itraconazole 100 mg/hr selama 15 hr atau 200 mg/hr selama 1 mgg.
Fluconazole 150-300 mg/hr selama 4 mgg.
|
Tinea
pedis
|
Griseofulvin 500mg/hr sampai
sembuh (4-6 minggu)
|
Terbinafine 250 mg/hr selama 2-4
mgg Itraconazole 100 mg/hr selama 15 hr atau 200mg/hr selama 1 mgg.
Fluconazole 150-300 mg/mgg selama 4 mgg.
|
Chronic
and/or
widespread non-responsive tinea. |
Terbinafine 250 mg/hr selama 4-6 minggu
|
Itraconazole 200 mg/hr selama 4-6 mgg. Griseofulvin 500-1000 mg/hr sampai sembuh (3-6 bulan).
|
Tabel
2.3 Pilihan terapi oral untuk infeksi jamur pada kulit11
Pada pengobatan kerion stadium dini
diberikan kortikosteroid sistemik sebagai antiinflamasi, yakni prednisone 3x5
mg atau prednisolone 3x4 mg sehari selama dua minggu, bersamaaan dengan pemberian
grisiofulvine yang diberikan berlanjut 2 minggu setelah lesi hilang.
Terbinafine juga diberikan sebagai pengganti griseofulvine selama 2-3 minggu
dosis 62,5-250 mg sehari tergantung berat badan.
Efek samping griseofulvine jarang
dijumpai, yang merupakan keluhan utama ialah sefalgia yang didapati pada 15%
penderita. Efek samping lain berupa gangguan traktus digestifus yaitu: nausea,
vomitus, dan diare. Obat tersebut bersifat fotosensitif dan dapat mengganggu
fungsi hepar.
Efek samping terbinafine ditemukan
kira-kira 10% penderita, yang tersering gangguan gastrointestinal diantaranya
nausea, vomitus, nyeri lambung, diarea, konstipasi, umumnya ringan. Efek
samping lain berupa ganguan pengecapan, persentasinya kecil. Rasa pengecapan
hilang sebagian atau keseluruhan setelah beberapa minggu minum obat dan hanya
bersifat sementara. Sefalgia ringan dilaporrkan pula 3,3%-7% kasus.
Pada kasus resisten terhadap
griseofulvin dapat diberikan ketokonazol sebagai terapi sistemik 200 mg per
hari selam 10 hari sampai 2 minggu pada pagi hari setelah makan. Ketokonazol
kontraindikasi untuk kelainan hepar.2
BAB
III
KESIMPULAN
Dermatofitosis adalah setiap infeksi fungal superfisial yang disebabkan oleh
dermatofit dan mengenai stratum korneum kulit, rambut dan kuku, termasuk
onikomikosis dan berbagai macam bentuk tinea.
Dermatofita dibagi menjadi :
microsporum, tricopyton, dan epidermophyton. Yang paling terbanyak ditemukan di
Indonesia adalah T.rubrum. dermatofita lain adalah: E.floccosum,
T.mentagrophytes, M. canis, M. gypseum, T.cocentricum, T.schoeleini dan T.
tonsurans.
Insidensi Indonesia termasuk wilayah
yang baik untuk pertumbuhan jamur, sehingga dapat ditemukan hampir di semua
tempat. Menurut Adiguna MS, insidensi penyakit jamur yang terjadi di berbagai
rumah sakit pendidikan di Indonesia bervariasi antara 2,93%-27,6%. Meskipun
angka ini tidak menggambarkan populasi umum.
Klasifikasi yang sering dipakai oleh
para specialis kulit yi berdasarkan lokasi:
a. Tinea kapitis, tinea pada kulit
dan rambut kepala
b. Tinea barbe, dermatofitosis pada
dagu dan jengggot.
c. Tinea kruris, dermatofita pada
daerah genitokrural, sekitar anus, bokong, dan kadang-kadang sampai perut
bagian bawah.
d. Tinea pedis et manum,
dermatofitosis pada kaki dan tangan.
e. Tinea unguium, tinea pada kuku
kaki dan tangan.
f. Tinea korporis, dermatofitosis
pada bagian lain yang tidak termasuk 5 bentuk tinea diatas.
Umumnya dermatofitosis pada kulit
memberikan morfologi yang khas yaitu bercak bercak yang berbatas tegas disertai
efloresensi-efloresensi yang lain, sehingga memberikan kelainan-kelainan yang
polimorf, dengan bagian tepi yang aktif serta berbatas tegas sedang bagian tengah
tampak tenang. Gejala objektif ini selalu disertai dengan perasaan gatal, bila
kulit yang gatal ini digaruk maka papula-papula atau vesikel-vesikel akan pecah
sehingga menimbulkan daerah yang erosit dan bila mengering jadi krusta dan
skuama. Kadang-kadang bentuknya menyerupai dermatitis (ekzema marginatum),
tetapi kadang-kadang hanya berupa makula yang berpigmentasi saja (Tinea
korporis) dan bila ada infeksi sekunder menyerupai gejala-gejala pioderma
(impetigenisasi).
Tinea pedis et manum dibedakan dengan
dermatitis, hiperhidrosis karena (pengelupasan kulit). Tinea pedis murni dan
kandidosis sangat sulit dibedakan, biasanya pemeriksaan dengan KOH membantu
diagnosa. Dengan sifilis sekunder akan dibedakan dengan gejala lain pada
sifilis seperti pembesaran kelenjar getah bening, adanya kondiloma lata, afek
primer dan sebagainya membantu dalm mendiagnosa. Tinea unguium juga harus
dibedakan denga psoriasis pada kuku dan dengan kandidosis unguium. Sedangkan
tinea korporis harus dibedakan dengan dermatitis seboroik, psoriasis, ptiriasis
rosea, eritrasma, dan kandidosis kutis. Begitu pula dengan tinea kapitis.
Semuanya dibandingkan tidak hanya berdasarkan lesi tetapi juga berdasarkan
predileksi.
Pengobatan dermatophytosis sering
tergantung pada klinis. Sebagai contoh lesi tunggal pada kulit dapat diterapi
secara adekuat dengan antijamur topikal. Walaupun pengobatan topikal pada kulit
kepala dan kuku sering tidak efektif dan biasanya membutuhkan terapi sistemik
untuk sembuh. Pilihan terapi oral yaitu grisiofulfin atau itrakonazol atau
ketokonazol bila terdapat resistensi terhadap griseofulvin. Lama penggunaan
juga disesuaikan dengan keadaan klinis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar